Minggu, 07 Juli 2013

Tahlilan Memperingati Kematian, Bolehkah?

Tahlilan Memperingati Kematian, Bolehkah?

KlikPintar - Tahlilan Memperingati Kematian. Sebelum kita membahas tahlilan akan kami tekankan terlebih dahulu bahwa ini bukan sebuah media untuk berdebat, tulisan ini dibuat berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis dalam menelusiri hukum tahlilan untuk memperingati kematian. Melalui tulisan ini akan kami tuturkan hasil penelusuran tentang tahlilan.

Tahlilan itu Zikir

Memang sajatinya tahlilan itu adalah aktivitas zikir atau mengingat Allah, dan itu memang disarankan dan bahkan wajib untuk dilakukan sebagai muslim. Ada keutamaan seseorang yang melakukan aktivitas mengingat Allah (zikir). Salah satu efek melakukan Zikir adalah hati yang akan menjadi tenteram sebagaimana dalil berikut :

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." [QS 13:28] "Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." [QS Al Ahzab 33:41]

Jadi tiada larangan tentang aktivitas zikir tersebut dan zikir adalah sangat dianjurkan bagi umat islam. Bila ingin hati menjadi tenteram maka ingatlah Allah (zikir). Tapi masalahnya tidak sampai disitu saja, ada masalah  yang lebih besar dalam tahlilan memperingati kematian.

tahlilan peringatan kematian

Pandangan Ulama Terhadap Tahlilan Kematian

Masalah utamanya adalah bukan zikirnya, tetapi timing waktu dijalankannya aktivitas tersebut. Biasanya aktivitas tahlilan atau yasinan untuk memperingati kematian dilakukan dirumah keluarg yang tertimpa musibah kematian pada hari ke tujuh, empat puluh, seratrus, setahun, dan lain-lain. Juga keluarga yang tertimpa musibah harus menyediakan makanan untuk menjamu para peserta tahlilan.

Jika ada orang yang tidak mampu menjadi keluarga yang ditinggalkan, maka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah ditinggal mati masih harus menjamu peserta tahlilan. Nah, bagaimanakan hukumnya tahlilan ditempat dan waktu-waktu tersebut?

Sebenarnya waktu dilaksanakan ritual tahlilan yang identik dengan makan-makan tersebut bertentangan dengan sebuah hadis, sebuah hadis yang semua ulama sepakat untuk tidak men-dhoif-kannya, artinya semua ulama sepakat dengan hadis tersebut, hadis tersebut adalah :

Dari Jarir bin Abdullah al Bajalii, ia berkata,” Kami (para sahabat) menganggap berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan membuat makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap (Niyahah yang terlarang).” (HR. Ibnu Madjah dan Ahmad)

Bahkan ulama NU terdahulu pun sepakat dengan hadis tersebut, kesepakatan ulama-ulama NU tersebut tertuang dalam Muktamar NU ke-1 di Surabaya 21 Oktober 1926, ulama-ulama NU sepakat Tahlilan Kematian adalah bagian dari Bid'ah Munkarah, karena termasuk dalam aktivitas meratapi kematian. Ulama NU waktu itu sepakat perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela, walaupun tidak sampai haram.

Ulama-ulama dan bahkan ulama NU terdahulu sudah mengatakan seperti itu, maka jika kita telusuri lebih jauh akan ada beberapa hadis riwayat muslim yang mengharamkannya, seperti :

“4 hal yang tedapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan keturunan, (2) mencela keturunan (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)" lalu beliau bersabda “Orang yang melakukan niyahah, bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkn pada hari kiamat & ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934)

Tahlilan Kematian Terdapat Dalam Kitab Weda

Tahlilan dan yasinan kematian ternyata ada dalil shahihnya, namun sayangnya dalil shahih tersebut bukan dalam al-quran maupun hadis. Malah peringatan kematian serupa terdapat dalam kitab weda, kitab suci orang Hindu. Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti hal. 99, 192, 193 yang berbunyi :

“Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu."

Dalam buku media Hindu yang berjudul : “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” karya : Ida Bedande Adi Suripto, ia mengatakan : “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa hari ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hari, jelas adalah ajaran Hindu”. Nah, kini jelas bukan?

Untuk mengakhiri untaian kata ini, ada baiknya kami kutip hadis:

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”(HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) "Jauhilah oleh kalian perkara baru dalam agama kami, sebab perkara yang tak pernah kmi contohkan tertolak amalannya" (HR. Bukhari)

Mohon maaf atas segala kesalahan, sekali lagi saya tegaskan ini bukan untuk berdebat tapi hanya sebuah penelusuran yang dilakukan oleh penulis, bagi pembaca kami sangat merekomendasikan kepada anda untuk mengecek hadis-hadis diatas didalam kitab. Segala kebenaran hanya milik Allah.

Semoga kita bijak dalam mempelajari Ilmu. Kami tidak menghakimi benar atau salah, semoga ini menjadi pembuka wawasan kita tentang tahlilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar